Tempat Sai Baru
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pelebaran wilayah sa’i, menjadi polemik di masyarakat. Tidak hanya tokoh yang memberikan komentar, termasuk para awak media yang memanfaatkan suasana untuk mendapatkan wacana kontroversial.
Sebagai muslim yang baik, tidak selayaknya kita menjadi manusia yang mudah terombang-ambing media dan komentar masyarakat. Didik diri kita menjadi muslim yang memiliki jati diri. Memandang kebenaran sebagai kebenaran, dan memandang kebatilan sebagai kebatilan.
Agar kita memiliki pegangan dalam menilai masalah kontroversial yang baru ini, berikut kami paparkan beberapa catatan sederhana yang disimpulkan dari beberapa fatwa dan keterangan para ulama.
Pertama, ulama sepakat bahwa lebar tempat sai sepanjang diameter bukit shafa dan marwah. Dr. Sa’d al-khatslan mengatakan,
لم يختلف العلماء في أن الواجب في السعي هو مابين جبلي الصفا والمروة
Ulama sepakat bahwa yang wajib ketika sai adalah wiilayah antara dua gunung shafa dan marwah. (Fawata Sa’d al-Khatslan, no. 175)
Ini berdasarkan firman Allah di surat al-Baqarah,
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa’i antara keduanya. (QS. al-Baqarah: 158)
Selama seseorang melakukan sai di wilayah antara bukit Shafa dan Marwah, maka ibadah sa’inya sah.
Kedua, tempat sai baru adalah bagian perluasan wilayah sa’i yang tepat berada di sebelah timur tempat sa’i lama. Dan keberasaan tempat sa’i yang baru, termasuk masalah yang diperselisihkan ulama kontemporer. Ada dua masalah yang menjadi titik perbedaan pendapat ulama,
- Apakah tempat baru ini masih masuk dalam rentang diameter shafa dan marwah, ataukah keluar dari wilayah itu?.
- Bolehkah melakukan sai di daerah keluar sadikit dari rentang diameter bukit shafa atau marwah.
Mengacu pada titik masalah di atas, ada tiga pendapat ulama tentang kasus perluasan tepat sa’i.
Pendapat pertama, boleh melakukan sa’i sedikit di luar rentang diameter bukit shafa dan marwah.
Pendapat kedua, sa’i hanya boleh dilakukan di rentang diameter kedua bukit shafa dan marwah, dan wilayah sa’i yang baru hasil pelebaran, masih termasuk dalam batas rentang diameter bukit shafa dan marwah.
Pendapat ketiga, sa’i hanya boleh dilakukan di rentang diameter kedua bukit shafa dan marwah, dan wilayah sa’i yang baru hasil pelebaran, TIDAK termasuk dalam batas rentang diameter bukit shafa dan marwah.
(Waqafat ma’a Maudhu’ al-Mas’a al-Jadid, Syaikh Alwi as-Saqqaf).
Ketiga, kebanyakan anggota Haiah Kibar Ulama di Saudi (Majlis Ulama Besar Saudi) berada pada kelompok ketiga, yang berpendapat bahwa wilayah sa’i baru, berada di luar rentang diameter kedua bukit itu, sehingga sa’i di tempat yang baru, tidak diperbolehkan secara syar’i. Diantaranya Syaikh Dr. Sholeh al-Fauzan, Syaikh Abdullah al-Ghadiyan, Syaikh Sholeh al-Luhaidan, Syaikh Abdurrahman al-Barrak, dan Syaikh Abdul Karim al-Khudair.
Mereka berdalil bahwa dengan catatan sejarah, bahwa lebar tempat sa’i sekitar 36 hasta, atau sekitar 20 meter. Dan itu adalah lebar tempat sa’i saat ini (tempat sa’i lama), setelah mengalami pelebaran yang dilakukan tahun 1375 H. Dan tembok yang membatasi tempat sa’i, ditetapkan berdasarkan fatwa Mufti besar kerajaan Saudi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, setelah pembentukan panitia yang bertugas menetapkan batas tempat sa’i. Berdasarkan fatwa ini, maka pelebaran tempat sa’i telah maksimal.
Keempat, sebagian anggota kibar ulama, dan beberapa ulama kontemporer lainnya berpendapat bolehnya melakukan sa’i di tempat yang baru. Diantaranya Samahah Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Dr. Abdullah al-Jibrin, Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Dr. Khalid al-Muslih, Syaikh Dr. Khalid al-Musyaiqih, Syaikh Dr. Sa’d al-Khatslan, dan lembaga fatwa Dal-Ifta di Mesir.
Dalil yang mereka sampaikan, bahwa tempat ini masih termasuk dalam batas rentang diameter bukit shafa dan marwah, sebelum mengalami pemugaran di kaki bukit bagian timur. Hal ini ditetapkan berdasarkan penelitian ahli sejarah, ahli geografi, ahli geologi, serta para enjiner mengenai batas wilayah kedua bukit itu.
Juga berdasarkan persaksian sejumlah orang tua asli penduduk Mekah di depan Mahkamah, – sekitar 30 orang saksi – yang mereka menyatakan bahwa lebar wilayah sa’i mencakup tempat sa’i yang baru.
[al-Mas’a al-Jadid wa Tahmisy al-Kibar, hlm. 2]
Kelima, masalah ini adalah masalah besar. Tidak sembarang orang berhak berbicara dan memberikan komentar. Hanya ulama yang berhak untuk dikedepankan. Karena itu, tidak selayaknya masyarakat mengikuti komentar wartawan meja atau media sekuler, yang sama sekali bukan sumber ilmu.
Kajian masalah tempat sa’i yang baru adalah kajian fiqhiyah ilmiyah. Sementara situs berita, media liberal, tidak memiliki kapasitas dalam masalah ini.
Kita bisa mengambil pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya. Mereka memanfaatkan suasana untuk menyebarkan isu dan berita dusta, demi memecah belah umat dan kaum muslimin.
Keenam, masalah keberadaan tempat sa’i baru hasil perluasan termasuk masalah khilafiyah fiqhiyah (perbedaan pendapat dalam masalah fikih). Sikap yang harus kita kedepankan adalah saling toleransi dan menghormati pendapat yang lain, tanpa diiringi dengan celaan dan menjelekkan yang tidak sependapat. Terlebih dikait-kaitkan dengan nama kelompok atau komunitas tertentu.
Di beberapa situs yang kurang bertanggung jawab, memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang orang lain dan memberikan tuduhan yang buruk kepada orang lain yang tidak sependapat dengannya. Jelas ini sikap kurang dewasa dalam masalash khilafiyah.
Beberapa situs berita dan media liberal menuding ‘wahabi’ hendak menyebarkan aqidah sesat di tengah umat dengan membangun tempat sa’i yang baru. Mereka maksudkan dengan gelar wahabi adalah para ulama rabbaniyin, baik yang tinggal di Saudi maupun luar Saudi.
Anda bisa menilai, bagaimana upaya mereka memancing di air keruh. Memanfaatkan suasana perbedaan pendapat ulama, untuk menghina ulama lainnya. Ini perbedaan ranah ijtihad. Masing-masing memiliki bukti dan dalil yang mendukung pendapatnya.
Semoga Allah membimbing kita untuk selalu meniti jalan kebenaran dan keadilan.
Allahu a’lam
Sumber:
- Dar Ifta’ Mesir: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=3022
- Keterangan Syaikh Abdullah bin Mani’: http://majles.alukah.net/t15001/
- Fatwa Dr. Sa’d al-Khatslan: http://www.saad-alkthlan.com/text-175
- Keterangan Syaikh Alwi as-Saqqaf: http://www.dorar.net/art/101
- Fatwa Dr. Khalid al-Musyaiqih: http://ar.islamway.net/fatwa/35908/ ما-حكم-السعي-في-المسعى-الجديد
- Keterangan Dr. Ibrahim al-Fauzan: http://www.almoslim.net/node/92583
Ditulis oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/23408-catatan-tentang-tempat-sai-baru.html